INFORMASI PUBLIK

Majalah internal Divisi Regional Janten (DADALI) kini telah tersedia dan dapat di download dengan format PDF

PERUM PERHUTANI DIVISI REGIONAL JABAR & BANTEN

  • Menuju Kehumasan Perum Perhutani Divisi Regional Janten Yang Handal
  • Rapat kepengurusan Pramuka Sakawanabakti (Munuju generasi muda yang mulia)
  • Apel siaga pengamanan hutan dan kesemaptaan Divisi Regional Jawa Barat & Banten tahun 2014
  • Kegiatan persemaian bibit pohon guna reboisasi
  • Kegiatan Penanaman Pohon guna Reboisasi dan rehabilitasi lahan
  • Kegiatan jumpa pers bersama wartawan media cetak & elektronik se Jawa Barat

Rabu, 12 November 2014

SINERGI DALAM PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR

Bandung, 13 Nopember 2014, Hutan merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang luar biasa. Namun, keberadaan hutan Indonesia, yang menjadi paru-paru Dunia, mengalami penurunan, baik kuantitas maupun kualitas. Penyebab dari penurunanya jumlah lahan hutan di Indonesia tersebut, yaitu penebangan liar ( Ilegal logging ).

Menurut catatan yang ada, pada tahu 2005, Indonesia memiliki luas kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian fungsi. Hutan konservasi seluas ( 23,2 juta hektare ), kawasan lindung ( 32,4 juta hektare ), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare) dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektare).

Pengelolaan hutan dalam skala besar berawal dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia pertengahan 1960-an. Kondisi tersebut memaksa pemerintah mengarahkan segala kemampuan untuk menggenjot pertumbuhan devisa melalui eksploitasi sumber daya alam, termasuk hutan.

Langkah tersebut diatur melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).

Sejak saat itu, eksploitasi hutan skala besar mulai beroperasi. Isi hutan dikuras atas nama pembangunan yang menempatkan sektor Kehutanan sebagai salah satu sumber penghasil devisa terbesar di luar migas.

KERUGIAN EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN    
Penebangan liar tidak hanya merugikan Negara dari sisi ekonomi, tapi juga sosial dan lingkungan. Kerugian yang ditangung negara akibat pembalakan liar dari sisi ekonomi mencapai Rp.83 miliar per hari atau Rp.30,3 triliun per tahun.

Ironisnya, praktik pembalakan liar telah memusnahkan hampir tiga perempat hutan alam di Indonesia. Luas areal hutan Indonesia yang hilang dalam setahun setara dengan luas negara Swiss, yakni 41,400 kilometer persegi.

Dari segi sosial dapat dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan adanya perubahan nilai. Masyarakat sulit membedakan yang benar dan salah, serta baik dan buruk. Hal tersebut disebabkan penegakan hukum yang belum maksimal. Perubahan nilai ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang besar.

Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah pohon tertentu sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan. Kerugian lain berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya  hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Tanaman hutan juga menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini.

Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi  pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, telah berubah peruntukannya. Perubahanan itu berkaibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut, sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik dan harus juga dijaga kelestariannya tidak berfungsi lagi.

Dampak yang lebih parah lagi, adalah kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan. Kerusakan itu dapat mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke keadaan semula menjadi tidak mungin lagi.

PENEGAKAN HUKUM
Penebangan hutan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh masyarakat atau badan usaha  atas rekomendasi pemerintah, baik pusat atau daerah, menyulitkan pihak aparat penegak hukum. jika dilakukan penindakan terhadap pelanggaran penebangan liar, akan terjadi benturan antara aparat dengan masyarakat setempat dan pemerintah daerah.

Selain itu, diantara komponen criminal justice system masih terjadi perbedaan interprestasi terhadap pasal didalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sehingga terjadi penuntasan kasus menjadi berlarut-larut dan tidak jelas.

Selain itu adanya kebijakan internal di Kejagung yang mengatur mengenai surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) oleh Bareskrim harus diserahkan ke Kejagung RI. Sehingga hal tersebut mengakibatkan proses penyidikan kurang efektif.

Saat ini, banyak pemegang izin yang sah (HPH/IPHHK) melakukan praktik ilegal logging dengan modus yang sangat rapih, sehingga sulit ditemukan oleh penyidik. Antara lain dengan cara memasukan hasil hutan kayu dari tempat lain ke dalam laporan hasil produksinya (LHP). Tidak melakukan pembayaran DR/PSDH, tapi tetap diterbitkan dokumen legalitas atas kayu yang akan diangkut. Serta menambahkan alat berat, namun digunakan untuk kegiatan menebang secara liar hutan yang bukan merupakan arealnya.

Sampai saat inipun masih ditemukan penerbitan izin pemanfaatan kayu oleh kepala daerah (Bupati) dalam skala produksi yang kecil. Namun, izin tersebut telah dijadikan dasar untuk menampung kayu hasil tebangan masyarakat, seperti contoh kasus di Papua.

Dari sisi sosial ekonomi, penambangan liar ini melibatkan masyarakat sekitar hutan. banyak masyarakat yang hidup disekitar hutan dengan mata pencahariannya hanya bergantung kepada kegiatan penebangan kayu secara ilegal. Kondisi ini pun telah dimanfaatkan oleh cukong-cukong untuk penebangan liar, sehingga apabila dilakukan penindakan oleh Polri maka akan dihadapkan dengan masyarakat sekitar. Penyidikan kasus ilegal logging membutuhkan dana yang relatif besar.

Meski demikian, Polri tetap berusaha melakukan penyidikan terhadap kasus ilegal logging secara profesional dan proporsional. Langkah yang dilakukan yaitu upaya koordinasi intensif  dengan Kementrian Kehutanan RI dalam penyelidikan dan penyidikan demi efektivitas dan efesiensi dalam pelaksananya. ( Republika 12/11/14-Oleh Kompol Anggara Nasution,SIK ) 
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar